Tokoh Penyair Indonesia
07.00
Denny's blog
No comments
Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga
memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern. ***
KREDO PUISI SUTARDJI
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Puisi Sutardji calzoum bachri
BATU
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji ?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
sedang lambai tak sampai. Kau tahu
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji ?
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
BAYANGKAN
untuk Salim Said
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
direguknya
wiski
direguk
direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
di halaman
anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya
direguk
direguk
direguknya wiski
sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan
GAJAH DAN SEMUT
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
KUCING
ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau ku
cing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 a
langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar ku
cingku berapa abad dia mencari menca
kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta
nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang
LA NOCHE DE LAS PALABRAS
Di cafe jalanan Noventa Y Sieta, Medellin, Columbia
kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
berkomplot dengan anggur daun cerbeza
bersekongkol dengan gadisgadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
Menjulang di Medelin
menampilkan sutera
di keharibaan malam cuaca
ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebutnyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah-wajah usia
kami para penyair
meneruskan zikir kami
-palabras palabras palabras palabras
-
--kata kata kata kata --
semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
sampai kami bisa buat
sesuka kami atas padat cahaya
lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan
sampailah kami pada kerajaan kata-kata
jika kami membilang ayah
ia juga ayah kata-kata
jika kami menyebut hari
juga harinya kata-kata
jika kami mengucap diri
pastilah juga diri kata kata
Di cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
kata-kata menjadi kami
kami menjadi kata kata
TANAH AIR MATA
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
Arsyad Indradi Lahir di Barabai, 31 Desember 1949. Menyenangi sastra khususnya puisi sejak duduk di SMP dan SMA. Pada tahun 1970 ketika menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin mulai menulis puisi. Puisi-puisinya banyak diterbitkan di berbagai media cetak di Banjarmasin seperti Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Gawi Manuntung , Bandarmasih dan lain-lain.
Sejak di SMA dan di Fakultas Hukum ikut bergabung di LesbumiBanjarmasin dan Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 keluar dari Lesbumi dan mengaktifkan diri di Sanggar Budaya Kalimantan Selatan. Tahun 1972 bersama Bachtiar Sanderta,Ajamuddin Tifani, Abdullah SP dan lain – lain ( mantan anggota Lesbumi ) mendirikan Teater Banjarmasin khusus menggeluti teater tradisional Mamanda.
Tanggal 5 Juli 1972 Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni RRI Banjarmasin mengadakan diskusi puisi dipimpin oleh Bachtiar Sanderta. Puisi yang didiskusikan adalah “ Dunia” karya Arsyad Indradi. Yang hadir dalam diskusi itu antara lain Yustan Azidin, Hijaz Yamani, Ajim Ariyadi, Samsul Suhud, Ajamuddin Tifani dan penyair muda Banjarmasin lainnya. Berita diskusi diexpos oleh Lembaran Kebudayaan Perspektif Banjarmasin Post tanggal 17 April 1972.
Kereta api Jakarta – Bogor
sebuah kereta mendekat dengan gemuruh
berdesakan orang memasuki kotak-kotak mendidih
tatapan mata mereka menjadi bubur manis
yang tumpah ke atas peron
kami mengambil tempat dalam lipatan keramaian
seorang laki-laki tanpa kaki
merangkak melalui hutan
kaki yang bergerak
makin sesak dan panas tapi sekarang datanglah
penjual tas plastik dengan tas plastik
penjual air minum dengan ember berisi es
penyanyi lip-synh dengan pengeras suara
penjual jepit rambut dengan tali digantungi jepit rambut
orang yang membacakan ayat-ayat suci
penjual jeruk dengan keranjang
perhentian pertama
laki-laki tanpa kaki
merangkak melalui hutan
kaki yang bergerak
lalu datanglah
pengamen dengan gendang
penjual tahu dengan bungkus-bungkus tahu
penjual air minum dengan ember berisi es
penjual rokok dengan rokok
penjual korek api dengan korek api
lalu penjual air minum datang kembali
perhentian kedua
laki-laki tanpa kaki
merangkak melalui hutan
kaki yang bergerak
kami melihat
ibu-ibu dan nenek-nenek
anak-anak dan kanak-kanak
laki-laki dan kakek-kakek (sedang tidur)
penjual air minum dengan ember berisi es
anak laki-laki dan anak perempuan dan
kondektur yang tak berani
mengontrol tiket
perhentian ketiga
laki-laki tanpa kaki
merangkak melalui hutan
kaki yang bergerak
lalu datanglah
penjual air minumdeengan ember berisi es
penjual biscuit dengan biscuit
penjual Koran dengan Koran
penjual buku tulis dengan buku tulis
penjual permen dengan permen
bencong dengan lagu-lagu disco
lalu penjual Koran lekas kembali
perhentian keempat
laki-laki tanpa kaki
merangkak melalui hutan
kaki yang bergerak
kami tak pernah bosan
melihat pengemis
orang tidur
orang berpasangan
kesempitan
jendela
asap
tukang sapu
dan ember berisi es dengan penjual air minum
perhentian kelima
laki-laki tanpa kaki
merangkak melalui hutan
kaki yang bergerak
kami tidur sambil berdiri
dan dalam mimpi kami lihat
penjual tas plastic dengan tas plastic
penjuan air minum dengan ember berisi es
penyanyi lip-synch dengan pengeras suara
penjual jepit rambut dengan tali digantung jepit rambut
orang yang membacakan ayat-ayat suci
penjual air minum datang kembali
dan pemuda-pemuda turun dari atap lalu
masuk lewat jendela
perhentian terakhir
dengan patuh kami mengalir keluar dari ktak-kotak mendidih
di atas peron mimpi kami berlanjut
seperti bubur manis orang berdesakan keluar
dan menderas memasuki jalan-jalan kota
laki-laki tanpa kaki
merangkak melalui hutan
kaki yang bergerak
DI ATAS RANJANG WAKTU
Kuhempashempas tubuh
Agar muncrat api
Raya Puncak muntah salju
Tubuhku beku
Tak ada api, kaukah api
Tak ada tungku, kaukah tungku
Ah begitu jahanamnya malam
Tak lelehleleh
Setiap erang kuhempashempas
di batubatu rindu
Kau berkata: Membaralah dalam tubuhku
Hingga puncak ekstase
Di atas ranjang waktu
GERIMIS MALAM
Kusembunyikan rindu
di balik tirai gerimismalam
angindingin
makin menuak dalam kenangan
Karna tak kuasa berlari
dan tangan terkulai
cuma desah napas
yang dapat membisikkan katahati
dan bila pandangmata redup
maka itulah hikayat rembulan
terkubur awan
Tak lebih sebuah pinta
jangan ajalkan sisa embun
pada selembar daun
agar kulihat warna pagi
LAUT
Masihkah lautmu membiru
Masihkah lautmu mengombak
yang membuatku rindu?
Aku cuma diam
memandang laut yang paling jauh
setiap ombaknya mengalun
pantai jadi kepayang
Aku Berkaca
aku berkaca
pada tubuhmu
melahirkan sebuah laut
membawaku terus berlayar
entah sampai ke mana
langit menyembunyikan pantai
pada ribuan ombak dan buihbuih
dan angin membunuh burungburung
aku jadi teramat letih
tapi tak juga kau beri aku dermaga
dalam nafasku
mungkin inilah riwayat
pelayaran terdampar di sini
pada sebuah ajal
kepaknya ke karangkarang ketika
kelam menyempurnakan malam
adalah masasilam yang kita sauhkan
pada alir usia kita sebab
...................................
0 pendapat/comment:
Posting Komentar
terima kasih atas komentar anda
jangan lupa tinggal link anda saat berkomentar
untuk berkertik.
kirimkan keritik anda ke : freemail.denny@gmail.com
layanan online
Yahoo Messenger :rvdy_csku@yahoo.com
My Facebook : KLIK
Follow me on twitter: KLIK
respon cepat ke : 085762905411